Problematika Penetapan Kedaulatan Perairan Republik Indonesia dan Exclave Timor Leste yang Mengarah ke Selat Alor dalam Perspektif Hukum Internasional

637e16e5aa885

Daftar Isi

Mochamad Charomen Ramadhani

Universitas Airlangga

mochamad.charomen.ramadhani-2023@fh.unair.ac.id

 

Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Timor Leste adalah negara yang tidak hanya berbatasan langsung, tetapi persis bersebelahan di dalam perspektif geografis. Berpisahnya Timor Leste dari Republik Indonesia didasari oleh TAP MPR No. V/1999. Diperjelas dalam perjanjian antara Republik Indonesia dan Portugal di New York tanggal 5 Mei 1999 tentang Agreement Between  the Republic of Indonesia and the Portuguese Republic on the Question of East Timor. Dampak dari berpisahnya Timor Leste dari Republik Indonesia memicu banyak pertanyaan hukum. Salah satunya dilihat dari sisi geografis yang menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk menentukan kedaulatan kedua negara dalam hal kedaulatan perairan. Munculnya Exclave (wilayah kantong) yang di miliki oleh Timor Leste tentu menjadi tantangan lebih lanjut karena jika ditarik lurus memanjang dari perairan wilayah kantong tersebut mengarah ke Selat Alor yang menjadi perairan milik Indonesia.  Menurut UNLCOS 1982 wilayah perairan suatu negara meliputi perairan pedalaman, laut teritorial, ZEE, serta landas kontinen. Sisi geografis yang dipunyai antara Republik Indonesia dengan Timor Leste yang bersebelahan dan berbatasan langsung mempunyai tantangan tersendiri untuk menentukan batas batas serta hak dan kewajiban internasional dalam hal wilayah perairan. Selain itu sisi geografis yang demikian dapat menjadi tantangan untuk menentukan perairan pedalaman, laut teritorial, ZEE, serta landas kontinen.

Isu Hukum

Bagaimana penyelesaian penentuan kedaualatan antara Indonesia dengan wilayah kantong Timor Leste di perairan Alor menurut Hukum Internasional?

Analisis

Republik Indonesia telah sepakat untuk melepas Timor Leste untuk menjadi negara yang berdiri sendiri pada tahun 1999. Oleh karena itu berdirinya Timor Leste dianggap sebagai fenomena hadirnya negara baru. Terkait dengan penetapan batas wilayah, Hukum Internasional secara prinsip mengenal prinsip uti possidetis juris yang berarti negara yang baru merdeka mewarisi wilayah negara penguasa sebelumnya. Jika dikaitkan pada prinsip tersebut penentuan batas wilayah antara Indonesia dan Timor Leste harus merujuk pada perjanjian antara Belanda dan Portugis pada tahun 1904 mengenai batas wilayah kolonialisasi antara Belanda dan Portugis di Pulau Timor pada saat itu. Pada perjanjian tersebut menyatakan bahwa Oecussi yang sekarang menjadi exclave Timor Leste adalah milik Portugis sehingga sejak kemerdekaan Indonesia Timor Timur terlambat menjadi provinsi di Indonesia karena sejatinya provinsi tersebut adalah bekas jajahan portugis. Maka dari itu mengenai kedaulatan darat sudah jelas dan sudah pasti dan secara otomatis penetapan garis pangkal laut Timor Leste dapat ditarik dari Oecussi yang berada di dalam wilayah Indonesia. Jika ditarik garis pangkal dari Oecussi maka akan menabrak Pulau Batek yang pada saat itu milik Belanda dan berdasarkan prinsip uti possidetis juris yang di mana secara otomatis pulau tersebut menjadi wilayah Indonesia. Hal ini membuat Indonesia sebagai negara kepulauan diperbolehkan untuk menentukan garis pangkal kepulauan dari Pulau Batek sesuai dengan Pasal 121 ayat (2) UNCLOS 1982. Jika kedua negara tersebut secara seksama menarik garis pangkal dari Oecussi dan di sisi lain Indonesia menentukan garis pangkal kepulauan dari Pulau Batek maka akan terjadi sengketa kedaulatan perairan antara Indonesia dan Timor Leste.

Kesimpulan dan Saran

Indonesia dan Timor Leste menghadapi masalah penentuan kedaulatan perairan antara Oecussi dan Pulau Batek. Jika ditarik garis pangkal oleh Timor Leste dari Oecussi maka akan menabrak Pulau Batek yang memiliki kedaulatan negara yang melekat pada negara kepulauan itu sendiri. Oleh karena itu penyelesaian sengketa ini sangat darurat untuk dilakukan karena dalam hal ini menyangkut keamanan masing masing negara dan masyarakat di dalamnya. Sengketa semacam ini perlu diselesaikan melalui negosiasi tanpa mengesampingkan prinsip uti possidetis juris untuk menjamin keamanan kedua negara. Dalam hal negosiasi tidak dapat dilaksanakan maka harus merujuk pada klausa penyelesaian sengketa pada Pasal 287 UNCLOS 1982.

Share Now:

Kategori